Sabtu, 21 Maret 2015

Perspektif Budaya, Gizi dan Kesehatan dari Bulatnya Biji Jengkol

Udah lama rasanya gak nulis, karena kesibukan dan hal lain baru sekarang bisa dan semoga masih terus mendapatkan semangat mengaktifkan blog ini. Mohon masukan dan kritik dari artikel atau konten yang masih sangat kurang ini.
Sebelumnya tulisan ini dalam versi betawi ora telah di muat di babelaninfo.com sebuah situs yang diasuh oleh Bang Komarudin Ibnu Mikam tokoh pemerhati budaya dan Jawara Betawi dari Babelan.

Apa sebab tema ini diangkat?


Beberapa waktu yang lalu sempat terjadi perbincangan yang menarik tentang apa yang akan kita kupas kali ini.. ya, tentang Jengkol..

Mengapa Jengkol menurut saya pantas untuk diulas? Jengkol sangat jarang dijadikan bahan pembicaraan dan mungkin bagi beberapa orang hanya buang-buang waktu saja mengurusi hal yang kurang penting ini. Tidak demikian bagi saya, yang notabene-nya sudah sangat akrab dengan barang yang satu ini sejak lahir, karena Jengkol bukan hanya sekedar panganan yang diolah menjadi sajian yang kemudian hanya sebatas dinikamati saja, akan tetapi didalamnya terselip sebuah makna lebih luas, yakni penjabaran tentang manfaat jika dikonsumsi secara tepat dan identitas serta eksistensi sebuah budaya.
Tak jarang saya cukup keras berargumen bagi mereka yang mendeskriditkan dan mungkin memandang peyoratif Jengkol, mengkasta-keduakan Jengkol dibanding makanan lain. Tidaklah demikian sodara-sodara.. Jengkol yang memang beraroma khas ini memiliki sesuatu, sisi lain yang mungkin tidak kita sadari selama ini.

Sewaktu akan melakukan riset di Laboratorium Kimia dan Analisis Makanan di kampus, saya bertemu dengan seorang asessor Asean University Network (AUN) yang sedang melakukan penilaian untuk akreditasi internasional departemen Gizi Masyarakat IPB, kebetulan pada saat itu waktunya istirahat dan kami berkenalan. Beliau adalah Prof. Wan Ahmad Kamil Mahmud yang juga merupakan guru besar bidang kimia di universitas Sains Malaysia. Karena sedang berada di departemen Gizi  yang kami bicarakan seputar  penelitian tentang gizi dan makanan, dan sampailah pada topik kuliner yang dibicarakan terutama makanan khas di Indonesia dan ternyata sang Profesor memiliki minat dan pengetahuan yang cukup baik terhadap makanan indonesia yang tidak begitu jauh berbeda dengan makanan dari negaranya yang masih serumpun dengan kita.  Hingga akhirnya sampailah pada satu pertanyaan.. dengan logat melayu malaysia Prof. Wan menanyakan , “adeukeuh tanaman macam jering disini? Boleh di search via internet” begitu ucapnya.. saya tidak langsung menjawab karena masih meraba-raba kira-kira tanaman jenis apa yang dimaksud.

Rasa-rasanya tidak asing kata jering itu.. tapi apa ya.. setelah beberapa lama baru ingat kata jering berasal dari Jiringa.. kata kedua dari nama ilmiah dari Jengkol, lebih lengkapnya Pithecellobium jiringa.
Pada kesempatan lain ketika bertemu lagi dengan Prof. Wan  saya kemukakan bahwa Jering disebut juga oleh orang Indonesia dengan nama Jengkol, karena beliau menanggapi dengan bahasa inggris, dan dengan bahasa yang sama pula meski sedikit terbata-bata saya katakan “ Jering is one of our (betawinese)  traditional Local food..  we called Semur Jengkol, and it used to served completely with nasi uduk or in Malaysia similiar with nasi Lamak”.. dari obrolan ini Prof. Wan sangat terkejut dan begitu tinggi apresiasinya dengan makanan tradisional kita yang begitu beragam di Indonesia.. terutama Jengkol, karena banyak sekali manfaatnya dan ternyata telah banyak diteliti oleh kolega beliau di universiti (menurut logat melayu), asal dikonsumsi dalam batas yang wajar.. 

Sebenarnya apa itu Jengkol.. benda macam apa dan bisa menjadi makanan seperti apa jika diolah? Apa rasanya enak atau seperti apa?

Jengkol seperti yang sudah disebutkan bernama ilmiah Pithecellobium jiringa atau Archidendron pauciflorum atau Archidendron jiringa merupakan tanaman yang berasal dari Asia Tenggara dan dikenal dengan beberapa istilah seperti Jering (Malaysia), Da Nyin Thee (Myanmar), Luk Neang (Thailand) (Wikipedia, 2014). Istilah Jengkol mulai dikenal masyarakat mancanegara salah satunya oleh West et al (1973) dan Areekul et al (1976) yang menyebutkan kata Djenkol dan Djencolism pada salah satu publikasinya.
Jengkol termasuk suku polong-polongan (Fabaceae). Buahnya berupa polong dan bentuknya gepeng berbelit membentuk spiral, berwarna lembayung tua. Biji buah berkulit ari tipis dengan warna coklat mengilap (Wikipedia, 2014).
Jengkol bisa diolah menjadi berbagai macam olahan, karena konsistensi daging buahnya yang kenyal dan pulen setelah direbus, Jengkol dapat menggantikan masakan yang umumnya menggunakan daging. Kalo dikampung saya Jengkol dapat dibuat bakwan Jengkol dengan aroma yang cukup menggugah selera, Jengkol masak balado, Burung goreng Jengkol yang biasanya pake burung blekEk (Gallinagos media) atau burung Ayam-ayaman (Gallicrex cinerea), dan masakan yang cukup terkenal dikalangan orang betawi ya tentunya Semur Jengkol. Bagi yang awam mungkin kehilangan minat makan begitu melihat bulatan pipih seukuran duit gobangan berenang-renang di kuah semur yang coklat pekat, tapi begitu dirasakan.. pasti ketagihan.

Apa hubungannya Jengkol ama budaya..? 

Jengkol dapat dimakan mentah terutama yang masih muda, atau orang betawi bilang Jengkol BW (baca BeWe), rasanya sepet sedikit pahit dan beraroma cukup menyengat, tapi dapat menggugah nafsu makan (dimakan beserta sambel), coba.. ada ga didaerah lain Jengkol  muda dijadiin lalapan?
Satu lagi olahan yang paling terkenal dari Jengkol yakni semur Jengkol. Semur Jengkol merupakan satu-satunya makanan khas betawi yang tak terbantahkan lagi keasliannya. Masakan khas betawi yang lain mungkin ada kembarannya di daerah lain tetapi semur Jengkol hanya ada di daerah Betawi saja (Wulan, 2014). Kalo di kampung saya, Nasi uduk baik yang dijual dikedai makanan atau di warung-warung pinggir jalan dan dikampung-kampung sudah hampir dipastikan selalu menyertakan semur Jengkol sebagai partner setia sarapan atau makan malam, dan perpaduan ini tak tergantikan kaya laki-bini deh gitu.. sebagai contoh nasi uduk yang di jual si Ema’ yang persis berada di pinggir jalan sasak serong Pakuning (sudah sejak tahun 70-an) atau nasi uduknya bang Jajam kampung Pabrik menu semur Jengkol selalu hadir. Keunikan dan kekhas-an inilah yang kemudian menjadi hal yang tak terpisahkan dari budaya kita sehari-hari, bagian dari budaya betawi.

Makan Jengkol entakan sakit kencing!!

Kandungan asam amino yang tidak biasa yang disebut dengan asam Jengkolat (S,S′-methylenebiscysteine) pada Jengkol diketahui pertama kali tahun 1933 dari hasil analisis isolasi urine pada populasi masyarakat jawa yang terkena keracunan Jengkol oleh Van Veen dan Hyman (Vigneaud dan Patterson, 1936). Konsumsi Jengkol yang berlebihan dengan rendahnya kelarutan asam Jengkolat akibat kurangnya minum air putih menyebabkan peningkatan kondisi keasaman pada urin. Asam amino tersebut kemudian mengendap membentuk kristal yang dapat menyebabkan iritasi pada saluran ginjal dan saluran urin yang mengakibatkan ketidaknyamanan pada perut bagian bawah/kolik, sakit pinggang, mual, muntah, kesulitan buang air kecil (seperti anyang-anyangan), hematuria (darah dalam urin) dan juga oliguria (sedikitnya volume urin) (Wikipedia, 2014). Kristal yang  tidak larut air ini lah yang menyebabkan sakit ketika kita akan buang hajat (kencing).
Besarnya gejala klinis dan tingkat keparahan yang terjadi  berbeda antar individu tergantung sensitifitas mereka terhadap asam Jengkolat. Beberapa orang akan merasakan gejala sakit setelah memakan beberapa potong kecil Jengkol saja dan beberapa yang lainnya baru merasakan sakit setelah memakan beberapa buah Jengkol (Vigneaud dan Patterson, 1936).

 Emang Jengkol ada gizinya?

Jangan salah kaprah dulu gan.. meski hasil akhirnya kurang sedep di WC atau nambah bau di mulut, ternyata Jengkol memiliki kandungan gizi yang cukup baik. Dari 100 gram biji memiliki kandungan gizi antara lain :

Kandungan
Jumlah (satuan)
Air
76,3 (g)
Kalori
92 (Kcal)
Lemak
0,2 (g)
Karbohidrat
16,9 (g)
Serat
1,3 (g)
Protein
6,2 (g)
Kalsium
23 (mg)
Phospor
38 (mg)
Zat Besi
0,7 (mg)
Vitamin A
658 (IU)
Vitamin B1
0,14 (mg)
Vitamin B2
0,01 (mg)
Niacin (B3)
0,4 (mg)
Vitamin C
8,0 (mg)
                                               Sumber : FAO, 2001 
                              
Jengkol juga memiliki potensi Protein nabati yang sama atau mungkin lebih besar dibanding tempe. Jika dikembangkan, Jengkol yang dibuat tepung dapat memiliki potensi yang besar karena konsentrasi, kekuatan ion,  pH, dan dapat dengan mudah dimodifikasi sangat sesuai untuk pengembangan produk baru di masa mendatang (Sridaran A, Karim AS dan Bhat R. 2012). Jengkol juga mengandung sitosterol dan stigmasterol yang dapat bermanfaat bagi kesehatan.

Lantas hubungan Jengkol ama kesehatan?

Tau kah anda...? disamping memberikan rasa kenyang dengan cita rasa yang gurih dan ikut melestarikan budaya, makan Jengkol juga memberikan manfaat bagi kesehatan kita. Disamping kandungan gizi yang terdapat dalam Jengkol yang dapat menyumbang beberapa porsi kebutuhan gizi harian, Jengkol juga bisa sebagai obat.
Jengkol memiliki potensi dalam penanganan penyakit diabetes melitus, Jengkol terbukti dapat meningkatkanjumlah sel islet (jaringan yang menghasilkan hormon) pankreas pada tikus diabetes dan tikus normal (Shukri et al, 2011), dan pemberian ekstrak Jengkol dapat menurunkan kadar glukosa darah mencit hiperglikemi (Evacuasiany et al, 2004).

Jengkol juga memiliki potensi anti mikroba dan anti jamur. Semua ekstrak pohon jengkol (daging buah, kulit buah, daun dan kulit batang) menunjukkan aktivitas anti mikroba dan anti jamur. Bagian ekstrak daun merupakan bagian yang paling aktif terhadap bakteri Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, dan jamur Microsporum gypsum  (Bakar RA, Ahmad I dan Sulaiman SF. 2012). Keberadaan Mikroba dan Jamur sangat melimpah disekitar kita tanpa kita sadari, memang tidak semua mikroba dan jamur berbahaya bagi kesehatan kita, akan tetapi beberapa bisa sangat mematikan. Anti mikroba dan anti jamur dapat bersifat mengambat pertumbuhan mikroba dan jamur atau juga mematikan mikroba dan jamur yang dapat merugikan kesehatan. Sebagai contoh  Staphylococcus aureus, jika kita terinfeksi bakteri ini kita kemungkinan akan mengalami bisul, jerawat, meningitis, dan arthritis.
Jengkol juga memiliki kemampuan menyembuhkan penyakit maag.


Ama masih seabreg manfaat laen dari jengkol yang mungkin kudu di teliti lagi. Ane sebagai bagian dari masyarakat Bekasi yang notabene-nya “Betawi ora” ngajak kita semua :

Nyok.. jangan malu makan Jengkol, biar kata dibilang kampungan, ketinggalan jaman, kaga trendi.. kaga usah minder, kita punya tradisi kita punya budaya, kita punya identitas. Ngikut apa kata orang kebanyakan ente seperti bukan siapa-siapa.. sama bae ama orang laen. Kita buktiin kita punya budaya, budaya selalu ngajarin nyang bae-bae dan jengkol hadir dalam khasanah budaya kita bukan ujug-ujug tanpa sebab, ada manfaat dibaliknya.

 Pustaka :
Areekul S, Kirdudom P, Chaovanapricha K. Studies on djenkol bean poisoning (djenkolism) in experimental animals. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 1976; 7: 551–58.
Bakar RA, Ahmad I dan Sulaiman SF. 2012. Effect of Pithecellobium jiringa as antimicrobial agent. Bangladesh J Pharmacol. 7: 131-134
Evacuasiany E, William H, Santosa S. 2004. Pengaruh Biji Jengkol (Pithecellobium jiringa) terhadap Kadar Glukosa Darah Mencit Galur Balb/c. JKM.4(1).
FAO [Food and Agricultural Organization]. 2001. Under-Utilized Tropical Fruits Of Thailand. Regional Office For Asia And The Pacific Bangkok. Thailand
Wikipedia. 2014. Jengkol. http://id.wikipedia.org/wiki/Jengkol . Diakses pada 18/02/2015.

Shukri R, Mohamed S, Mustapha NM, Hamid AA. 2011. Evaluating the toxic and beneficial effects of jering beans (Archidendron jiringa) in normal and diabetic rats. Journal of Science of Food Agriculture. 91(14):2697-2706.

Sridaran A, Karim AS dan Bhat R. 2012. Pithecellobium jiringa legume flour for potential food applications: Studies on their physico-chemical and functional properties. Food Chemistry . 130: 528–535.

West CE, Perrin DD, Shaw DC, Heap GH, Soemanto. 1973. Djenkol bean poisoning (djenkolism): proposals for treatment and prevention. Southeast Asian J Trop Med Public Health.4(4):564-70.

Wulan. 2014. Budaya-indonesia.org/semur-Jengkol. Dikases 18/02/2015

 Oleh :
Firdaus SP
Farmer, Researcher, Master Student at Community nutrition department
Faculty of Human Ecology, Bogor Agricultural University