Udah lama rasanya gak nulis, karena kesibukan dan hal lain baru sekarang bisa dan semoga masih terus mendapatkan semangat mengaktifkan blog ini. Mohon masukan dan kritik dari artikel atau konten yang masih sangat kurang ini.
Sebelumnya tulisan ini dalam versi betawi ora telah di muat di babelaninfo.com sebuah situs yang diasuh oleh Bang Komarudin Ibnu Mikam tokoh pemerhati budaya dan Jawara Betawi dari Babelan.
Apa sebab tema ini diangkat?
Beberapa waktu yang lalu sempat terjadi perbincangan yang
menarik tentang apa yang akan kita kupas kali ini.. ya, tentang Jengkol..
Mengapa Jengkol menurut saya pantas untuk diulas? Jengkol
sangat jarang dijadikan bahan pembicaraan dan mungkin bagi beberapa orang hanya
buang-buang waktu saja mengurusi hal yang kurang penting ini. Tidak demikian
bagi saya, yang notabene-nya sudah sangat akrab dengan barang yang satu ini
sejak lahir, karena Jengkol bukan hanya sekedar panganan yang diolah
menjadi sajian yang kemudian hanya sebatas dinikamati saja, akan tetapi
didalamnya terselip sebuah makna lebih luas, yakni penjabaran tentang manfaat
jika dikonsumsi secara tepat dan identitas serta eksistensi sebuah budaya.
Tak jarang saya cukup keras berargumen bagi mereka yang
mendeskriditkan dan mungkin memandang peyoratif Jengkol, mengkasta-keduakan Jengkol
dibanding makanan lain. Tidaklah demikian sodara-sodara.. Jengkol yang memang
beraroma khas ini memiliki sesuatu, sisi lain yang mungkin tidak kita sadari
selama ini.
Sewaktu akan melakukan riset di Laboratorium Kimia dan
Analisis Makanan di kampus, saya bertemu dengan seorang asessor Asean
University Network (AUN) yang sedang melakukan penilaian untuk akreditasi internasional
departemen Gizi Masyarakat IPB, kebetulan pada saat itu waktunya istirahat dan
kami berkenalan. Beliau adalah Prof. Wan Ahmad Kamil Mahmud yang juga merupakan
guru besar bidang kimia di universitas Sains Malaysia. Karena sedang berada di
departemen Gizi yang kami bicarakan
seputar penelitian tentang gizi dan makanan,
dan sampailah pada topik kuliner yang dibicarakan terutama makanan khas di
Indonesia dan ternyata sang Profesor memiliki minat dan pengetahuan yang cukup
baik terhadap makanan indonesia yang tidak begitu jauh berbeda dengan makanan
dari negaranya yang masih serumpun dengan kita. Hingga akhirnya sampailah pada satu pertanyaan..
dengan logat melayu malaysia Prof. Wan menanyakan , “adeukeuh tanaman macam jering
disini? Boleh di search via internet” begitu ucapnya.. saya tidak langsung
menjawab karena masih meraba-raba kira-kira tanaman jenis apa yang dimaksud.
Rasa-rasanya tidak asing kata jering itu.. tapi apa ya..
setelah beberapa lama baru ingat kata jering berasal dari Jiringa.. kata kedua
dari nama ilmiah dari Jengkol, lebih lengkapnya Pithecellobium jiringa.
Pada kesempatan lain ketika bertemu
lagi dengan Prof. Wan saya kemukakan
bahwa Jering disebut juga oleh orang Indonesia dengan nama Jengkol, karena
beliau menanggapi dengan bahasa inggris, dan dengan bahasa yang sama pula meski
sedikit terbata-bata saya katakan “ Jering is one of our (betawinese) traditional Local food.. we called Semur Jengkol, and it used to
served completely with nasi uduk or in Malaysia similiar with nasi Lamak”..
dari obrolan ini Prof. Wan sangat terkejut dan begitu tinggi apresiasinya
dengan makanan tradisional kita yang begitu beragam di Indonesia.. terutama Jengkol,
karena banyak sekali manfaatnya dan ternyata telah banyak diteliti oleh kolega
beliau di universiti (menurut logat melayu), asal dikonsumsi dalam batas yang wajar..
Sebenarnya apa itu Jengkol.. benda
macam apa dan bisa menjadi makanan seperti apa jika diolah? Apa rasanya enak
atau seperti apa?
Jengkol seperti yang sudah disebutkan bernama ilmiah Pithecellobium
jiringa atau Archidendron pauciflorum atau Archidendron jiringa merupakan tanaman yang berasal dari Asia Tenggara dan dikenal dengan
beberapa istilah seperti Jering (Malaysia), Da Nyin Thee (Myanmar), Luk Neang
(Thailand) (Wikipedia, 2014). Istilah Jengkol mulai dikenal masyarakat
mancanegara salah satunya oleh West et al (1973) dan Areekul et al (1976)
yang menyebutkan kata Djenkol dan Djencolism pada salah satu publikasinya.
Jengkol termasuk suku polong-polongan (Fabaceae).
Buahnya berupa polong dan bentuknya gepeng berbelit membentuk spiral, berwarna lembayung tua.
Biji buah berkulit ari tipis dengan warna coklat mengilap (Wikipedia, 2014).
Jengkol bisa diolah menjadi berbagai macam olahan, karena
konsistensi daging buahnya yang kenyal dan pulen setelah direbus, Jengkol dapat
menggantikan masakan yang umumnya menggunakan daging. Kalo dikampung saya
Jengkol dapat dibuat bakwan Jengkol dengan aroma yang cukup menggugah selera, Jengkol masak balado, Burung goreng Jengkol yang biasanya pake burung
blekEk (Gallinagos media)
atau burung Ayam-ayaman (Gallicrex
cinerea), dan masakan yang cukup terkenal dikalangan orang betawi ya
tentunya Semur Jengkol. Bagi yang awam mungkin kehilangan minat makan begitu
melihat bulatan pipih seukuran duit gobangan berenang-renang di kuah semur yang
coklat pekat, tapi begitu dirasakan.. pasti ketagihan.
Apa hubungannya Jengkol
ama budaya..?
Jengkol dapat dimakan mentah terutama yang masih muda, atau
orang betawi bilang Jengkol BW (baca BeWe), rasanya sepet sedikit pahit dan
beraroma cukup menyengat, tapi dapat menggugah nafsu makan (dimakan beserta
sambel), coba.. ada ga didaerah lain Jengkol
muda dijadiin lalapan?
Satu lagi olahan yang paling terkenal dari Jengkol yakni
semur Jengkol. Semur Jengkol merupakan satu-satunya makanan khas betawi yang
tak terbantahkan lagi keasliannya. Masakan khas betawi yang lain mungkin ada
kembarannya di daerah lain tetapi semur Jengkol hanya ada di daerah Betawi saja
(Wulan, 2014). Kalo di kampung saya, Nasi uduk baik yang dijual dikedai makanan
atau di warung-warung pinggir jalan dan dikampung-kampung sudah hampir
dipastikan selalu menyertakan semur Jengkol sebagai partner setia sarapan atau
makan malam, dan perpaduan ini tak tergantikan kaya laki-bini deh gitu..
sebagai contoh nasi uduk yang di jual si Ema’ yang persis berada di pinggir
jalan sasak serong Pakuning (sudah sejak tahun 70-an) atau nasi uduknya bang Jajam kampung Pabrik menu semur Jengkol
selalu hadir. Keunikan dan kekhas-an inilah yang kemudian menjadi hal yang tak
terpisahkan dari budaya kita sehari-hari, bagian dari budaya betawi.
Makan Jengkol entakan
sakit kencing!!
Kandungan asam amino yang tidak biasa yang disebut dengan
asam Jengkolat (S,S′-methylenebiscysteine)
pada Jengkol diketahui pertama kali tahun 1933 dari hasil analisis isolasi
urine pada populasi masyarakat jawa yang terkena keracunan Jengkol oleh Van
Veen dan Hyman (Vigneaud dan Patterson, 1936). Konsumsi Jengkol yang berlebihan
dengan rendahnya kelarutan asam Jengkolat akibat kurangnya minum air putih
menyebabkan peningkatan kondisi keasaman pada urin. Asam amino tersebut
kemudian mengendap membentuk kristal yang dapat menyebabkan iritasi pada
saluran ginjal dan saluran urin yang mengakibatkan ketidaknyamanan pada perut
bagian bawah/kolik, sakit pinggang, mual, muntah, kesulitan buang air kecil
(seperti anyang-anyangan), hematuria (darah dalam urin) dan juga oliguria
(sedikitnya volume urin) (Wikipedia, 2014). Kristal yang tidak larut air ini lah yang menyebabkan
sakit ketika kita akan buang hajat (kencing).
Besarnya gejala klinis dan tingkat
keparahan yang terjadi berbeda antar
individu tergantung sensitifitas mereka terhadap asam Jengkolat. Beberapa orang
akan merasakan gejala sakit setelah memakan beberapa potong kecil Jengkol saja
dan beberapa yang lainnya baru merasakan sakit setelah memakan beberapa buah Jengkol
(Vigneaud dan Patterson, 1936).
Emang Jengkol
ada gizinya?
Jangan salah
kaprah dulu gan.. meski hasil akhirnya kurang sedep di WC atau nambah bau di
mulut, ternyata Jengkol memiliki kandungan gizi yang cukup baik. Dari 100 gram
biji memiliki kandungan gizi antara lain :
|
|
Air
|
76,3 (g)
|
Kalori
|
92 (Kcal)
|
Lemak
|
0,2 (g)
|
Karbohidrat
|
16,9 (g)
|
Serat
|
1,3 (g)
|
Protein
|
6,2 (g)
|
Kalsium
|
23 (mg)
|
Phospor
|
38 (mg)
|
Zat Besi
|
0,7 (mg)
|
Vitamin A
|
658 (IU)
|
Vitamin B1
|
0,14 (mg)
|
Vitamin B2
|
0,01 (mg)
|
Niacin (B3)
|
0,4 (mg)
|
Vitamin C
|
8,0 (mg)
|
Sumber : FAO, 2001
Jengkol juga memiliki potensi Protein nabati yang sama atau
mungkin lebih besar dibanding tempe. Jika dikembangkan, Jengkol yang dibuat
tepung dapat memiliki potensi yang besar karena konsentrasi, kekuatan ion, pH, dan dapat dengan mudah dimodifikasi
sangat sesuai untuk pengembangan produk baru di masa mendatang (Sridaran A,
Karim AS dan Bhat R. 2012). Jengkol juga mengandung sitosterol dan stigmasterol
yang dapat bermanfaat bagi kesehatan.
Lantas hubungan Jengkol
ama kesehatan?
Tau kah anda...? disamping memberikan rasa kenyang dengan cita
rasa yang gurih dan ikut melestarikan budaya, makan Jengkol juga memberikan
manfaat bagi kesehatan kita. Disamping kandungan gizi yang terdapat dalam Jengkol
yang dapat menyumbang beberapa porsi kebutuhan gizi harian, Jengkol juga bisa
sebagai obat.
Jengkol memiliki potensi dalam penanganan penyakit diabetes
melitus, Jengkol terbukti dapat meningkatkanjumlah sel islet (jaringan yang
menghasilkan hormon) pankreas pada tikus diabetes dan tikus normal (Shukri et al, 2011), dan pemberian ekstrak Jengkol
dapat menurunkan kadar glukosa darah mencit hiperglikemi (Evacuasiany et al, 2004).
Jengkol juga memiliki potensi anti mikroba dan anti jamur.
Semua ekstrak pohon jengkol (daging buah, kulit buah, daun dan kulit batang)
menunjukkan aktivitas anti mikroba dan anti jamur. Bagian ekstrak daun
merupakan bagian yang paling aktif terhadap bakteri Staphylococcus aureus, Staphylococcus
epidermidis, dan jamur Microsporum
gypsum (Bakar RA, Ahmad I dan
Sulaiman SF. 2012). Keberadaan Mikroba dan Jamur sangat melimpah disekitar kita
tanpa kita sadari, memang tidak semua mikroba dan jamur berbahaya bagi
kesehatan kita, akan tetapi beberapa bisa sangat mematikan. Anti mikroba dan
anti jamur dapat bersifat mengambat pertumbuhan mikroba dan jamur atau juga
mematikan mikroba dan jamur yang dapat merugikan kesehatan. Sebagai contoh Staphylococcus
aureus, jika kita terinfeksi bakteri ini kita kemungkinan akan mengalami
bisul, jerawat, meningitis, dan arthritis.
Jengkol juga memiliki kemampuan menyembuhkan penyakit maag.
Ama masih seabreg manfaat
laen dari jengkol yang mungkin kudu di teliti lagi. Ane sebagai bagian dari
masyarakat Bekasi yang notabene-nya “Betawi ora” ngajak kita semua :
Nyok.. jangan
malu makan Jengkol, biar kata dibilang kampungan, ketinggalan jaman, kaga
trendi.. kaga usah minder, kita punya tradisi kita punya budaya, kita punya
identitas. Ngikut apa kata orang kebanyakan ente seperti bukan siapa-siapa..
sama bae ama orang laen. Kita buktiin kita punya budaya, budaya selalu ngajarin
nyang bae-bae dan jengkol hadir dalam khasanah budaya kita bukan ujug-ujug
tanpa sebab, ada manfaat dibaliknya.
Pustaka :
Areekul S, Kirdudom P, Chaovanapricha K. Studies on djenkol
bean poisoning (djenkolism) in experimental animals. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 1976; 7: 551–58.
Bakar RA, Ahmad I dan Sulaiman SF. 2012. Effect of Pithecellobium
jiringa as antimicrobial agent. Bangladesh
J Pharmacol. 7: 131-134
Evacuasiany E, William H, Santosa S. 2004. Pengaruh Biji Jengkol (Pithecellobium
jiringa) terhadap Kadar Glukosa Darah Mencit Galur Balb/c. JKM.4(1).
FAO [Food and Agricultural Organization]. 2001. Under-Utilized
Tropical Fruits Of Thailand. Regional Office For Asia And The Pacific Bangkok. Thailand
Wikipedia. 2014. Jengkol. http://id.wikipedia.org/wiki/Jengkol
. Diakses pada 18/02/2015.
Shukri
R, Mohamed S, Mustapha NM, Hamid AA. 2011. Evaluating the toxic and beneficial effects of jering beans (Archidendron jiringa) in normal and diabetic rats. Journal
of Science of Food Agriculture. 91(14):2697-2706.
Sridaran A, Karim AS dan Bhat R. 2012. Pithecellobium jiringa legume
flour for potential food applications: Studies on their physico-chemical and
functional properties. Food
Chemistry . 130: 528–535.
West CE, Perrin DD, Shaw DC, Heap GH, Soemanto. 1973. Djenkol bean poisoning (djenkolism):
proposals for treatment and prevention. Southeast Asian J
Trop Med Public Health.4(4):564-70.
Wulan. 2014. Budaya-indonesia.org/semur-Jengkol.
Dikases 18/02/2015
Oleh :
Firdaus SP
Farmer, Researcher, Master Student at Community nutrition department
Faculty of Human Ecology, Bogor Agricultural University